Halaman

Rabu, Oktober 13, 2010


Cinta Fiksi
*Riska Hasnawaty*
Malam ini begitu cerah dengan taburan bintang yang mengedipkan mata-matanya yang indah serta bulan sabit yang seolah tersenyum padaku. Hari ini sepertinya begitu sempurna untukku ketika sore tadi Aku pun bertemu dengan pujaan hatiku, walau dia umurnya dibawah setahun dariku. Malam ini Aku pun menulis kisah-kisah roman tentang dirinya dan berkhayal tentangnya.
Siang tadi Aku bertemu dengan Rifqi, dia menyapa dan tersenyum padaku, lalu menawarkan dirinya untuk mengantarku pulang….. I
Aku mulai mengetik khayalanku di depan laptopku yang menyimpan sejuta curahan hatiku dan siap sedia mendengarkan curahan hatiku yang ku tulis begitu hiperbolis.
….Kemudian kami pulang bersama, berjalan berdua . Tiba-tiba hujan turun. Kami putuskan  berteduh di beranda teras samping taman kota, lalu….. I
Kahayalaku semakin liar. Kuhentikan saja menulisku. Sebelum cerita itu selesai dengan ending yang tidak jelas, seperti yang sudah-sudah. Walau aku berusaha memejamkan mata tapi efek dua gelas kopu yang menemaniku menulis masih terasa, membuat mataku sulit dipejamkan.
Hari ini pukul  14.00 dikampus, lagi-lagi sambil menunggu  revisi tugas: Percetakan. Aku menghabiskan waktu luang tanpa tugas mengkhayal. Yup, masih tentang kisah dan tokoh yang sama…, Rifqi. Ngomong-ngomong soal Rifqi, sedang apa ya kiranya gerangan, khayalanku jadi tidak jelas arah tujuannya. Sementara temanku, Ina, sedang melakukan aktifitas rutinnya, curhat.
“Jadi menurut kamu gimana mes?”
“Hah? Apa? Sorry–sorry aku gak konsen. Kamu dari tadi ngomong apa? Bisa diulang gak?” Ina memasang muka cemberut, dari air wajahnya kelihatannya dia kecewa berat.
Hari ini pukul  16.00 masuk kembali ke kelas praktikum percetakan.
Mata kuliah yang cukup aneh, percetakan, tetapi disuruh buat cerpen. Harus menunggu lama untuk mengantri panggilan dari dosen. Satu persatu dosen bersama asistennya membaca dan menilai cerpen seadanya yang dibuat mahasiswa. Menunggu adalah hal yang paling membosankan. Tetapi, sekarang yang ada dalam otakku, kenapa Rifqi bisa memonopoli sebagian besar hati, pikiran dan perasaanku saat menunggu seperti ini. Oh… Rifqi!
Hari ini pukul 18.00 akhirnya selesai juga praktikum percetakan.
Aku berjalan menuju lorong kelas yang sepi, disekelilingku pun mulai gelap disertai hujan yang cukup deras. Berharap hujan jangan marah lagi, agar aku bisa pulang. Namun, hujan pun masih marah hingga curah hujan semakin deras disertai angin kencang dan petir yang menggelegar. Aku pun menunggu sampai hujan tidak marah lagi bersama beberapa teman yang juga terjebak oleh amarah hujan.
Hujan pun sudah reda dan tidak marah lagi…
Ku keluarkan headset dari tas lalu kupasangkan pada telepon genggamku dan kupasangkan pada kedua telingaku. Aku pun mencari lagu favoritku, “Dia”-nya Maliq D’Essensial. Kini headset sudah menyumbat kedua telingaku dan aku pun berjalan menuju parkiran motor yang sudah mulai sepi. Ku hidupkan motor dan kupanaskan sejenak motorku yang kedinginan. Situasi kampus yang sudah mulai sepi dan gelap menambah suasana kesendirianku semakin dingin. Aku pun langsung meng-gas motor kesayanganku yang setia menemani hariku yang sepi.
Diiringi lagu Maliq D’Essensial, aku pun mengendarai motor sambil membayangkan Rifky. Andai saja dia sekarang mengantarku pulang ke rumah dan suasana dingin yang sepi ini akan menjadi hangat.  Tetapi, itu hanya khayalanku saja tentangnya. Andai saja dia tahu apa yang aku rasakan. Khayalanku pun mulai terganggu oleh Mobil di depanku yang jalannya lamban sekali seperti keong. Rasanya ingin aku tabrak itu mobil. Akhirnya aku pun menyalip dan sambil mengkhayalkan dirinya.
Malam ini kembali aku menuliskan romanku ditemani secangkir kopi dan dinginnya angin malam selepas hujan. Kali ini aku tak terlalu hiperbolis menceritakan cerpen fiksiku, hanya menyisipkan sedikit mimpi dan ambisi. Aku optimis suatu saat nanti Rifqi akan mencintaiku bahkan lebih dari perasaanku saat ini. Namun, menurut Ina, itu tak akan terjadi karena sampai sekarang pun Rifqi tak pernah tahu perasaanku.
“Kecuali Rifqi bisa membaca pikiranmu saat kamu memperhatikan dia terus” sindir Ina. Apapun kata Ina, aku tetap berambisi memiliki hati dan perasaan Rifqi seutuhnya.
Hari ini tanggal merah, maksudku hari minggu.
Minggu adalah jadwalku untuk mengurusi klub fotografi kampus. Tetapi, temanku Ina mengajakku untuk hunting foto di jalan ‘Car Free Day’ sebelum pertemuan rutin bersama anak-anak klub foto. Awalnya aku tak berminat tetapi Ina dan pacarnya tetap memaksa.
“Ayo dong mes, semangat dikit napa!? Lumayan hunting pagi sekalian olahraga baru deh ngumpul sama anak-anak! Kamu butuh penyegaran juga sekalian cari inspirasi di Car Free Day, siapa tau ada hal menarik untuk dipotret! Biar gak kepikiran Rifqi terus.”
“Iya,iya na… ini juga lagi jalan sambil lirik kanan-kiri untuk menemukan dan moment yang bagus”.
“Hummm… jadi kamu beneran naksir Rifqi?”
“Udah deh… ris!” Bentakku ke Faris.
Karena sudah cukup lelah, kami putuskan istirahat sebentar sambil sarapan bubur ayam di depan lapangan basket. Setengah tidak percaya tiba-tiba Faris datang bersama Rifqi.
“Oh my God!”
“Halo.. mbak.” Sapa Rifqi sambil mengulurkan tangannya.
Tangan kanannya basah berkeringat dan tubuhnya pun bercucuran keringat.
“Habis latihan ya?” tanyaku berbasa-basi.
“Tuh kan mes, ada untungnya juga ikut hunting pagi sambil olahraga?”
“Sssssssshhhhhuuuutt…”Mukaku memerah, malu banget denger kata-kata Ina barusan.
“Ngomong-ngomong” Faris memulai pembicaraannya “..Qi, kamu ada acara nggak habis ini?”
“Emm… nggak ada. Emang kenapa?”
“Tolong anterin mba memes pulang ya! Soalnya habis ini aku ada perlu sama Ina.”
“Oke!”
Rifqi langsung menyetujui permintaan Faris untuk mengantarkanku ke kampus.
Jadi nanti aku bakalan dianterin ke kampus sama Rifqi? Mimpi apa sih semalem?
Ina dan Faris sudah pulang duluan, sementara aku dan Rifqi berjalan berdua menuju jalan kea rah kampus. Saat itu sebelum ke Sempur aku menitipkan motorku di kampus dan Rifqi tak membawa motor. Kita pun jalan berdua menuju kampus. Selama perjalanan aku berjalan disampingnya dan aku pun terdiam.
            “Kok diem aja, mbak? Capek ya abis jalan-jalan hunting?”
            “Ah, nggak kok! Seru lagi tadi huntingnya!”
            “Umm… dapat foto apa aja mba? Emang ngapain ajah?”
            “Foto apa ya!? Foto ambigu yang menggambarkan tentang diriku! Hee.”
            “Boleh lihat mba?”
            “Ah, gambarnya Cuma gitu2 ajah! Pasti kamu bingung deh! Ntar ajah deh di kampus! Hee..”
            Akhirnya kami pun terdiam. Dua puluh menit berlalu, sampai juga di kampus dan kami pun duduk di bawah pohon rindang yang tempatnya dijadikan kawasan pertemuan rutin klub fotoku.
            “Umm… anak-anak belum pada datang!”
            “Yasudah mba, aku temani. Boleh kan?’
            “Hah? Oia,… boleh-boleh!”/
            Kami duduk berdua dibangku-bangku di bawah pohon rindang yang masih sepi. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 09.00. Waktu yang biasanya anak-anak sudah pada kumpul di sini, tetapi belum juga ada satu pun anak-anak. Sambil memandangin ke arah langit yang cerah, secerah hatiku bisa bertemu dengan adek kelasku sekaligus pujaan hatiku.  Beberapa saat kita hanya diam, sampai akhirnya aku pun mulai membuka perbincangnan.
            “Oia, btw… gimana hasil seleksi sepak bola kemaren?”
            “Emm… lolos kok, jadi lusa udah mulai diklat masuk Tim Inti.”
            “Wah, selamat ya!”
            “Iah, makasi mba. Temen-temen mba belum pada datang juga ya?”
            “Iah, nih belom. Gak tau kemana!? Kenapa?”
            “Gak kenapa-napa mba!”
            Kita berdua pun kembali terdiam. Di bawah pohon rindang yang dilempari sinar matahari yang menyusup di sela-sela batang pohon.
            “Mba, ada yang mau aku tanyain ke kamu”
            “Apa?” Sejenak Rifqi menatapku, begitu dalam.
            “Aku nggak yakin sama dugaanku mba. Tapi aku seperti bisa membaca pikiranmu saat mba memperhatikanku setiap kita berjumpa di kampus”.
            “Maksud kamu apa, Qi?”
            “Mba, apa benar kamu suka sama aku?”
            Aku terkejut mendengar pertanyaan Rifqi. Kenapa dia bisa tau? Dan kenapa kata-kata itu bisa sama dengan kata-kata Ina tempo hari?
            “Gak usah panik mba, aku udah tau dari awal kok.”
            Aku tak sanggup membuka mulut, Rifqi terus saja mendesakku…
            “Sebenarnya aku sudah sejak awal juga suka sama mba saat pertama kali bertemu dengan mba.”
            “Hah.. eh..? Em.. kok bisa?” Aku pun menjawab dengan terbata-bata dan bingung.
            “Bisa mba, pertama bertemu dengan mba aku bisa membaca dari wajah dan mata mba, kalau mba itu orangnya dewasa, mandiri dan berkepribadian baik. Itu yang aku suka dari mba, beda dengan cewe-cewe lain yang cenderung manja. Walau saat itu aku sepertinya bersikap biasa.”
            Aku menatap wajah Rifqi dan kutemukan senyuman di sana, senyuman yang lain, yang tidak pernah aku lihat seblumnya.
            “Jadi mba, bolehkah aku mencintai kamu mba, seperti halnya kamu mencintaiku?”
            Aku kembali menatap Rifqi. Kali ini aku serasa inging pingsan!
            “I…iya!”
            Pagi itu pun terasa cepat berlalu dengan cepat. Sinarnya mentari dan birunya langit menemani hariku yang begitu penuh kejutan tentang cinta. Kini pagi pun sudah berganti malam dan mala mini bulan tampil sempurna, artinya malam ini adalah malam purnama. Aku sudah siap di depan komputerku ditemani secangkir kopi panas. Kali ini aku tidak menuliskan tentang cerita-cerita pendek tentang fiksi dan khayalanku, tetapi mengenai hati dan perasaanku saat ini. Jemariku perlahan-lahan mulai menekan tiap huruf dalam keyboard. Menuangkan segala yang ada di dalam pikiranku, menggambarkan betapa bahagianya aku hari ini.
            Beribu-ribu malam telah kuhabiskan hanya untuk mengkhayalkanmu… berjuta kisah bertriliyun cerita fiksi yang hanya berbau monoton tentang cintaku. Aku kira kisah ini akan menjadi roman yang tak tentu akhirnya. Seperti kisah Romeo dan Juliet yang tak pernah berakhir tanpa air mata. Ternyata kau memiliki perasaan yang sama. Aku tak tahu apakah aku bermimpi? Atau khayalanku sudah mencapai cerita ini, namun bulan sadarkan aku ketika kau katakana kau mencintaiku. Dan mulai saat ini, aku tak perlu lagi mengkhayalkanmu dan menuliskan  kisahku lagi, karena yang tersisa kini, hanya ada roman bahagia, tanpa ada lagi cerita fiksi…I
            Malam in kubiarkan jendela kamarku terbuka, agar aku dapat melihat bulan. Setelah menyelesaikan tulisan aku pergi tidur. Tak sabar melihat hari esok, yang akan kujalani “tanpa khayalan” untuk pertama kali.
           


1 komentar:

lovelybutterfly mengatakan...

cerita yang tak pernah kau ungkap pada ku lagi mes....
hayo....